Powered By Blogger

Sabtu, 26 Oktober 2013

GELAR AKADEMIK

Hari ini saya coba ingin memberikan pemahaman saya terhadap sebuah gelar. Sebuah pengakuan dari orang banyak atau sebuah instansi yang diberikan kepada seseorang. Mereka sebut itu adalah gelar.

Saya mau membuka pemahaman lebih awal untuk para pembaca dari sebuah kisah yang terjadi di Indonesia mengenai sebuah gelar haji. Dahulu ketika Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda. Orang yang akan pergi haji benar-benar harus diseleksi oleh pihak Belanda. Pertama kali orang Indonesia pergi haji menggunakan kapal laut yang hanya berbiaya Rp. 170.000 serta memakan waktu hingga 3-4 bulan. Oleh karena itu orang pergi haji jaman dulu sangat penuh resiko, bisa saja meninggal di perjalanan atau tidak bisa kembali karena tidak punya ongkos pulang. 

Ternyata kenapa mereka membutuhkan waktu yang lama untuk pergi ke Mekkah. Karena mereka sebenarnya menumpang kapal laut dagang Belanda yang singgah di tiap pesisir pantai negara. Mereka harus berdagang dulu untuk menambahkan uang saku pribadi untuk membeli oleh-oleh dan ongkos pastinya. Ada yang tertinggal di negara tersebut karena merasa nyaman lalu menetap lama. Ada juga yang menikah dengan para saudagar setempat.

Nah orang Belanda itu menandai orang yang pernah pergi haji dengan sebutan Pak Haji atau Bu Hajah. Sebenarnya sih pihak Belanda hanya ingin menandakan mereka yang pernah tahu negara luar dan dikhawatirkan bisa berbuat pemberontakan di Indonesia. Ya memang sebenarnya Belanda itu melakukan pemobodohan terhadap Indonesia, ditutup rapat hingga tidak bisa tahu dunia luar seperti apa.
 
Begitu juga dengan gelar akademik yang akan saya bahas di sini. Pada umumnya di Indonesia memiliki banyak gelar yang diberikan dari mulai lulus pendidikan strata 1, strata 2, strata 3. Seperti yang saya katakan di atas, gelar hanya sebuah pengakuan dari orang banyak atau sebuah instansi kepada seseorang. Coba kita balik menjadi pengakuan buruk yang diberikan orang banyak kepada seseorang, bukan kah itu disebut aib. 

Nah di sini mungkin pembaca sudah mulai paham, apa arti dari sebuah gelar sebenarnya. Khusus orang-orang yang mendapat gelar di bidang akademik. Ketika kita sudah mengenyam pendidikan yang kita inginkan di tingkat apa pun juga, sebenarnya bukan gelar yang kita butuhkan tapi memaknai dan mengimplementasikan ilmu yang dia dapat kepada orang banyak.

Tapi kenyataannya, banyak orang yang memanfaatkan momentum tersebut yang hanya sekedar pemberian gelar saat wisuda hingga mengajak kakek, nenek, om, tante, keponakan, hingga pacar. Untungnya saja pihak instansi sadar betul bahwa kapasitas ruang sangat lah terbatas, maka undangan untuk menghadiri wisuda biasanya hanya 1-2 orang saja.

Eh lucunya, walau sudah dibatasi 1-2 orang saja untuk menghadiri wisuda. Para kumpulan keluarga teresebut menunggu di halaman parkir gedung atau mungkin pintu keluar hanya sekedar memberikan ucapan selamat. hahaha

Ya kembali lagi bagi para pembaca yang punya alasan lain terkait undangan keluarga. Mungkin saja itu ungakapan syukur mereka kepada keluarga terhadap apa yang sudah diraih. Eits... Tapi bagi saya pribadi, cukup lah kedua orang tua yang diajak untuk menghadiri acara wisuda tersebut. Sekali lagi saya menulis di sini bukan berarti saya merasa paling benar dan yang lain salah. Atau mungkin sebaliknya para pembaca yang merasa demikian hehe.

,,,, hidup hanya sebuah persepsi guys ,,,,

Pengakuan yang seharusnya diharapkan oleh orang banyak adalah dari Allah SWT, Sang Pencipta, Maha Pemurah, Maha Penyayang.

Bagi kalian yang punya gelar, 
  1. Sudah bisa apa kalian sekarang setelah punya gelar?
  2. Sudah menghasilkan apa kalian untuk orang banyak?
  3. Apakah ilmu yang kalian tempuh itu dengan cara yang jujur atau mungkin banyak hal yang kalian manipulasi dari penelitian kalian?
  4. Apakah attitude kalian bertambah atau mungkin terkikis akibat keangkuhan kalian karena merasa telah punya gelar dibanding yang lain?
  5. Apakah kalian sudah bersukur dengan cara memberikan seminar gratis atau mungkin kelas gratis bagi orang banyak atau mungkin kalian malah pasang tarif?
Ingat kawan, Gelar bisa menjadi Bumerang bagi kalian yang tidak mampu memaknainya hehehe...

Kamis, 03 Oktober 2013

PRAKTISI DAN AKADEMISI

Kali ini saya membahas mengenai seseorang yang sangat hebat dalam bidang tertentu. Semoga bisa menjadi inspirasi untuk pembaca semua.

Suatu ketika terjadi obrolan antara saya dan teman di sekitar masjid. Saat itu saya bertanya kepada dia, apakah tidak ada niat untuk mengajar? jawab dia : ah saya mau berkarir dulu sampai mendapatkan pengalaman yang cukup (memuaskan emosi) untuk bisa mentransfer ilmu dan pengalaman yang di dapat dari tempatnya di hotel. Saya balik bertanya, pengalaman yang seperti apa yang dicari? Dia hanya menjawab pengalaman yang benar-benar cukup. Saya pun tersenyum, maksudnya dia belum bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaan saya.

Kira-kira sepenggal cerita di atas sedikit menggambarkan antara seorang praktisi dan akademisi. Ya saya pun berusaha mendefinisikan selama sepanjang jalan pulang ke rumah setelah terjadi obrolan tersebut. Karena saya mempunyai beberapa pendapat atas pertanyaan saya tersebut. Mengapa mayoritas para praktisi belum berani menjadi akademisi secara langsung. 

Mereka merasa pengalaman yang telah didapat dari menjadi seorang praktisi adalah sebuah modal yang paling menjamin untuk bisa mentransfer ilmunya kepada para peserta didik. Padahal poin penting bagi seorang pendidik terbagi menjadi empat : kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan terakhir kompetensi profesional.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi profesional atau kemampuan pada bidangnya juga masuk ke dalam poin bagi seorang akademisi. Tapi itu saja tidak cukup untuk menjadi seorang akademisi. Mereka harus mempelajari pedagogik, kepribadian, sosial. Semua itu tidak bisa didapatkan dalam waktu singkat. 

Kita ambil contoh seorang praktisi yang sudah berusia ya minimal 44 tahun, ketika mereka sudah tidak diperlukan lagi oleh perusahaan yang memanfaatkan kemampuan profesionalnya karena usia yang telah dibatasi. Mereka pun akan berpindah menjadi seorang akademisi. Seperti yang saya bilang, kalau tidak dimulai dari awal minimal 10 tahun mereka atau masyarakat mampu menguasai dan mengadopsi kemampuan pedagogik, kepribadian, sosial.

Jadi buat kalian yang memang sudah punya niat menjadi akademisi, jangan tunggu untuk mendapatkan pengalaman dulu di industri, 
Tapi mulailah dari sekarang!